Jumat, 29 Maret 2013

Dunia Butuh Kekuatan Militer Pembalas AS [Politik dan Keamanan]





Kekuatan penyeimbang (balances of power) dalam tata politik dunia baru yang dibutuhkan saat ini adalah lahirnya kekuatan yang mampu memberikan balasan atas penyerangan secara militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap suatu negara.

Demikian antara lain pendapat pakar ilmu politik UI yang juga anggota Komisi I DPR Burhan D Magenda dan politisi senior PPP yang juga anggota Komisi I DPR Aisyah Aminy kepada Pelita, di Jakarta, Minggu (20/4), berkaitan dengan kunjungan kerja Presiden Megawati Soekarnoputri ke Rusia, Rumania, dan Polandia.

"Apakah mungkin balances of power pada waktu perang dingin dihidupkan kembali, dalam arti kekuatan itu harus bisa membalas aksi militer langsung kepada AS. Tidak seperti sekarang, kan Rusia, China, Perancis itu diam walaupun menyatakan menolak invasi ke Irak. Kekuatan penyeimbang takkan berarti jika tidak membalas," kata Burhan.

Secara ekonomi, begitu Burhan, Rusia masih bergantung kepada IMF dan Bank Dunia dimana AS adalah di baliknya. Namun begitu secara politik dan militer, Rusia masih memiliki kekuatan "yang bisa melakukan serangan ke AS." Hanya saja, dia melihat, tak mungkin juga hal itu jika dilakukan sendirian oleh Rusia.

"Kalau digalang dengan Perancis mungkin bisa balance. Tapi bagaimana menciptakan sesuatu yang permanen, sebab kenyataannya yang muncul sekarang ini kekuatan yang muncul isu oriented. Misalnya dalam kasus Irak, Perancis tidak ikut AS, tapi dalam isu lain dia ikut," sambungnya.

Pendapat senada juga disampaikan Aisyah Aminy. Rusia, kata dia, tidak lagi sejaya masa Uni Soviet dulu. Satu-satunya kekuatan yang harus digalang adalah kekuatan bersama dengan dukungan aktif berbagai negara yang tidak mendukung arogansi AS.

Burhan Magenda mengingatkan gaya tindakan unilateral atau multilateral tanpa persetujuan DK PBB atau Majelis Umum PBB merupakan tindakan yang harus dihentikan, karena akan menjadi preseden buruk bagi tata hubungan negara dunia.

Bush (jr)sendiri sebenarnya bukan satu-satunya pemimpin AS yang melakukan tindakan unilateral atau multilateralisme tanpa persetujuan PBB, tapi pernah juga dilakukan pemimpin AS sebelumnya yaitu Clinton di Bosnia dan Kosovo, Reagen di Granada, Bush (Sr) di Panama.

Untuk itu, kata dia, Indonesia memiliki peranan yang dapat disumbangkan bagi terbentuknya kekuatan penyeimbang ini atau setidaknya menghalangi tindakan AS yang bersikap semena-mena tersebut.

Pertama, adalah mendorong terwujudnya balances of power, dengan menggalang kekuatan dengan Rusia, China, Perancis, Jerman. Kedua, mengikat AS di tiap wilayah dengan konsensus keamanan bersama di tingkat regional.

"Misalnya di tingkat ASEAN kita kan punya ASEAN Regional Forum (ARF). Sulitnya dalam konteks Korut, kita agak sulit karena Korut itu memang tak mau datang. Ini memang bukan pakta pertahanan seperti NATO, tapi bermanfaat untuk menghalangi AS. Di Amerika Latin ada OAS, ya seperti itu," ucap Burhan.

Ditegaskannya, ketegangan yang terjadi di Timteng, Asia Selatan dan Afrika, justru akibat tidak adanya forum regional seperti ini.

Yang ketiga, menurut Burhan, adalah memberikan dorongan agar semua negara mentaati seluruh Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB.

Soal kerja sama persenjataan

Menyinggung rencana pembelian persenjataan Indonesia dari Rusia, Burhan menyebut hal itu memang perlu untuk dilakukan menyusul pengalaman yang terjadi dengan AS dengan peristiwa embargo militer. Apalagi di tingkat ASEAN sendiri masing-masing negara sudah tidak lagi mentaati kesepakatan tahun 1970-an mengenai standardisasi peralatan militer.

"Dulu memang ada kesepakatan agar peralatan militer itu disamakan dibeli sama-sama dari AS, supaya gampang dalam latihan bersama, tapi sekarang kan Malaysia saja sudah beli dari Rusia, Perancis. Apalagi dulu itu uang kita masih melimpah, kita bisa bayar cash peralatan kita dari AS, sebab memang AS sendiri menuntut cash," katanya.

Pembelian alutsista dari Rusia seperti Sukhoi, memang selain didorong oleh tidak berlakunya lagi kesepakatan ASEAN dan adanya embargo AS, juga karena pesawat Rusia tersebut jauh lebih murah namun teknologinya juga tidak kalah.

"Dulu pada zaman Bung Karno kita juga beli dari Rusia. Polisi kita juga beberapa waktu lalu sudah beli AK-47, 10.000 pucuk waktu zamannya Pak Bimantoro. Kita juga punya MiG-21, MiG-19. Hanya pada masa orba memang kita lebih banyak beli dari AS, karena hubungan kita dengan Rusia sedikit terganggu," begitu Burhan.

Aisyah Aminy justru berpandangan lain. Untuk pembelian peralatan ini, dia meminta agar pemerintah tidak terburu tergiur pada masalah murahnya atau adanya keringanan khusus dari pihak Rusia.

"Kita harus wanti-wanti mengenai kualitasnya, jangan sampai kita kemudian susah di kemudian hari," begitu Aisyah.

Kerja sama industri militer

Presiden Megawati Soekarnoputri menginginkan PT Pindad dan PT PAL bekerja sama dengan industri-industri militer Rumania guna meningkatkan kemampuan TNI di masa mendatang.

"Kita menginginkan kerja sama antara Pindad, PAL dan sebagainya dengan industri persenjataan Rumania," kata Megawati, Minggu (20/4) dalam jumla pers dengan wartawan Indonesia di Bukarest, Rumania, sebelum berangkat ke Moskow, Rusia.

Megawati menyebutkan bahwa kerja sama itu diperlukan karena peralatan TNI sudah tidak memadai lagi.

Sementara itu ketika ditanya tentang penyelesaian konflik Aceh, Presiden minta masyarakat menunggu hasil perundingan Indonesia dengan GAM melalui Forum Joint Council, 23-25 April 2003.

"Kita sedang menunggu tentang tempat berlangsungnya perundingan karena ada tiga alternatif," kata Megawati.

Presiden menyebutkan tanggal 28 April 2003 akan diselenggarakan sidang kabinet jika perundingan tentang Aceh itu sudah terlaksana.

Panglima TNI Endriartono TNI Sutarto menyebutkan kunjungan Megawati ke Rumania, Rusia serta Polandia akan dimanfaatkan untuk menjajaki kemungkinan pembelian senjata dan peralatan militer lainnya.

Ia meyebutkan Indonesia ingin membeli pesawat tempur, helikopter serta tank dari ketiga negara itu, sesuai dengan kemampuan keuangan Indonesia.

Pemberdayaan PBB

Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Rumania Ion Iliescu, membicarakan perkembangan terakhir di Irak serta upaya-upaya pemberdayaan PBB dalam mengatasi berbagai masalah dunia.

"Kami berdua membicarakan situasi di Irak serta Timur Tengah," kata Iliescu dalam jumpa pers, Jum'at (18/4) siang, di Istana Cotroceni.

Megawati yang didampingi suaminya Taufik Kiemas tiba di ibukota Rumania pukul 13.00 waktu setempat, atau pukul 17.00 WIB. Megawati mengadakan kunjungan kenegaraan tiga hari, antara lain didampingi Menlu Hassan Wirajuda, Menperindag Rini Soewandi, Menristek Hatta Rajasa, Sekretaris Negara Bambang Kesowo, serta Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto.

Namun Iliescu tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pembicaraannya yang menyangkut situasi di Irak.

Sementara itu, Megawati mengatakan kepada pers bahwa Indonesia ingin memberdayakan PBB sehingga badan dunia itu berperan lebih efektif dan efisien.

"Saya dan Presiden Rumania membicarakan upaya lebih memberdayakan PBB agar dapat lebih berperan lebih efektif dan efisien bagi pedamaian dunia," kata Megawati seperti dilansir Antara.

Jika Iliescu secara jelas menyebutkan pembicaraan mereka juga menyangkut masalah Irak, maka di lain pihak Megawati sama sekali tidak menyebut-nyebut situasi di Irak. (jon)

Tidak ada komentar: